Header Ads

Resolusi Perdamaian Dari Rumah Ibadah


Resolusi Perdamaian Dari Rumah Ibadah
Ilustrasi. Sumber:islamthis.wordpress.com
Oleh: Muhammad Mukhlisin
Tidak dipungkiri lagi bahwa Negara Indonesia adalah negara multikultur. Berbagai bentuk suku, budaya, adat, bahasa dan agama menghiasi keanekaragaman berbangsa dan bernegara. Tetapi semua jenis perbedaan ini akan sangat mudah tersulut api ketegangan yang berujung pada konflik sosial dan kekerasan.
Konflik sosial yang terjadi selama ini salah satunya disebabkan oleh hilangnya toleransi. Toleransi yang menjadi ciri bangsa Indonesia lama kelamaan telah  tergerus dengan letupan-letupan pertikaian yang semakin berkobar. Sehingga ketegangan-ketegangan kecil akan berubah menjadi konflik besar yang berkepanjangan. Kecenderungan menghilangnya toleransi paling tidak dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, hilangnya toleransi diantara sesama pemeluk agama. Seperti kasus yang terjadi mengenai fatwa sesat terhadap kelompok yang menyimpang dari arus mainstream. Seperti yang menimpa Yusman Roy di Malang, Fatwa sesat terhadap Jemaat Ahmadiyah diberbagai daerah, Lia Eden, Pondok Nabi di Bandug (2004), Ardhi hussen (Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam, YKNCA) di  Probolinggo jawa timur, dan kelompok yang dituding sesat lainnya. Kedua, hilangnya toleransi antara ummat beragama. Seperti konflik antar agama yang terjadi di Poso da Ambon, penutupan gereja di bebarapa daerah serta fenomena sulitnya pendirian masjid di daerah non-muslim atau sebaliknya. Ketiga, hilangnya toleransi dapat dilihat dari sikap kelompok-kelompok agama terhadap adat dan kebudayaan asli (indegenous people) terutama masyarakat adat yang terpinggirkan.
Dari sekian faktor yang berperan dominan dan riskan konflik adalah Agama. Menurut rohaniawan katholik Frans Magnis suseno, agama itu sangat melekat pada manusia sehingga mudah ditarik dalam konflik.  Serta sangat erat hubunganya dengan pandangan yang melekat pada seseorang mengenai cara pandang dalam menghadapi realitas. Oleh sebab itu, agama mampu memberikan dorongan psikologis kepada seseorang untuk melakukan sesuatu yang dianggap baik. Pemahaman keagamaan yag sempit dan fanatis akan membentuk benih-benih psikologis untuk membatasi diri dari kelompok lain dan mempunyai anggapan diri sendirinyalah yang benar. Maka tak begitu sulit untuk meletupkan konflik dari sumbu agama.
Selanjutnya, menurut ketua umum PBNU Said Agil Syiradj, agama bukan faktor utama penyebab konflik. Agama hanya dipelintir dan dipolitisir serta ditarik kedalam wilayah konflik, untuk memperkeruh dan mendramatisir suasana. Sebenarnya faktor utamanya adalah faktor politik dan ekonomi. Hal senada juga diungkapkan oleh George J. Aditjondro konflik itu dikendalikan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan politik dan bisnis.
Klimaks yang ditimbulkan dari ketegangan atau konflik terlepas dari penyulut konflik tersebut adalah kekerasan. Kekerasan ini dapat berwujud dimensi fisik dan dimensi psikis. Kekerasan fisik berakibat pada penganiayaan, pengrusakan sarana-sarana fisik terutama rumah dan tempat-tempat ibadah. Kemudian akan merambat pada kekerasan mental atau psikis yang mengakibatkan trauma mendalam pada korban seperti pengancaman dan pengintimidasian, fitnah, teror dan yang lain-lain. Dua dimensi ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan individu maupun sosial.
Kecenderungan seseorang untuk bertindak kekerasan adalah salah satu luapan emosional atau timbul dari dorongan psikologis seseorang. Tetapi jika kecenderungan ini mempunyai skala dimensi yang luas akan menjadi akar budaya kekerasan. Menurut Frans Magnis Suseno dalam pengantar buku Melawan Kekerasan Tanpa Kekerasan, paling tidak ada empat faktor yang melatarbelakangi budaya kekerasan. Pertama, transformasi dalam masyarakat, termasuk didalamnya adalah ketegangan yang dipengaruhi oleh modernisasi dan globlalisasi. Kedua, akumulasi kebencian dalam masyarakat, sehingga dalam kurun tahun-tahun terakhir ini menimbulkan kekerasan yang merajalela. Kiranya tidak dapat disangkal tendendi eksklusifisme baik dari agama ataupun adat mempunyai efek besar dalam faktor ini. Faktor ketiga, masyarakat yang sakit, masyarakat yang tidak mampu mengobati budaya kekerasan dan konflik yang terjadi. Dan terang saja hal ini akan sangat mudah dipelintir oleh pihak-pihak tertentu. Keempat, pengaruh pemerintahan orde baru sebagai sistem institusionalisasi kekerasan. Semua konflik sosial dan kepentingan yang terjadi selalu dipecahkan dengan dengan tidak rasional, tidak objektif, menghilangkan dialog dan tidak adil melainkan dengan melakukan pembujukan (kooptasi), ancaman (intimidasi) dan penindasan.
Bagaimanapun juga kekerasan itu merupakan bentuk sikap yang salah dalam setiap manusia. Menurut kebanyakan ahli psikologi seperti Louis Thurstone (1928) Rensis Likert (1932) dan Charlest Osgood, mendefinisikan sikap manusia adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Ia akan selalu muncul ketika nafsu amarah yang tertanam sudah tidak dapat terbendung dan lepas kontrol.
Tetapi, segala bentuk kekerasan akan menimbulkan dampak yang negative, baik terhadap korban maupun pelaku. Selain itu juga pasti muncul penindasan dan ketidakadilan di salah satu fihak. Nah, berangkat dari kasus ini agama diharapkan mampu hadir dengan wajah baru. Agama yang pada mulanya mempunyai nilai luhur yang universal, kemudian dipelintir dan dipolitisir oleh sebagian kelompok tertentu kedalam ranah-ranah konflik. Sekarang harus mampu membawa kembali nilai luhur yang murni ketengah masyarakat dan menundukkan nafsu angkara dan kekerasan.
Posisi rumah ibadah
Mengutip pendapat Karen Amstrong, bahwa agama adalah salah satu bentuk kebutuhan untuk mendapat perlindungan dan ketenangan dalam historis kehidupan manusia. Didalam masing-masing agama selalu ada cara tersendiri untuk mengaktualisasikan ketaatan dan pengabdian kepada Tuhan. Bermacam bentuk dan cara ibadah dilaksanakan sebagai bentuk kebutuhan rohani sesuai dengan kepercayaan yang tertanam dalam batin dan hati nurani masing-masing.
Begitupun juga dengan konsep rumah ibadah, masing-masing rumah ibadah mempunyai ciri khas tersendiri antara satu dengan yang lain. Baik dalam ranah fisik bangunan meliputi arsitektur dan simbol-simbol didalamnya, maupun kegiatan formal yang berlangsung. Yang dimaksud rumah ibadah disini adalah tempat yang secara khusus hanya digunakan untuk aktifitas ibadah dalam mensyukuri anugrah yang diberikan oleh Tuhan. Seperti Masjid, Gereja, Vihara, Temple, Pura, Kuil dan lain-lain yang secara arsitektur memang mempunyai ciri dan keunikan tersendiri. Masjid identik dengan kubahnya yang besar serta menara yang menjulang tinggi. Gereja identik dengan lonceng dan salib. Pura identik dengan arsitektur bangunan bata yang dihiasi dengan patung-patung kecil yang indah dan kain hitam putih sebagai simbol dunia. Vihara yang kelihatan megah dengan patung budha yang menakjubkan, dan masih banyak ciri khas dan keunikan yang lain. Sedangkan kegiatan formal yang berlangsung seperti shalat jama’ah, refleksi keagamaan, kebaktian, perayaan hari besar dan lain sebagainya yang juga sangat beragam.
Tetapi keragaman dan keunikan yang indah tersebut seringkali harus menjadi korban ketika konflik atau kekerasan dengan dalih agama terjadi. Misalnya, penyerangan dan pengrusakan masjid Jemaat Ahmadiyah di Parung, Lombok, Kuningan, Majalengka, dll. Kemudian penyerangan dan penutupan gereja di Tangerang, Jakarta, Lombok, dll. Serta penyerangan terhadap aliran sesat dan budaya yang dianggap bertentangan dengan agama.
Tetapi kalau kita mau menelaah kebelakang, sebenarnya gambaran mengenai rumah ibadah adalah salah satu bentuk indikasi bahwa bangsa indonesia adalah bangsa multikultur dan mempunyai rasa toleran yang tinggi. Kerukunan otentik telah terpahat dalam pembangunan candi-candi Jawa. Candi Borobudur yang dibangun untuk menghormati budha, berdiri berdampingan dengan candi prambanan yang bertendensi keagama Syiwa. Bangunan Masjid Istiqlal yang notabene masjid terbesar dikawasan Asia Tenggara dipersandingkan mesra dengan Gereja Katedral ditambah dengan naungan Monumen Nasional (Monas) sebagai harmonisasi simbol keagamaan dan kenegaraan. Bahkan di Maluku terdapat tatanan adat yang disebut Pela-Gandong, yaitu suatu mekanisme adat untuk saling tolong-menolong, seperti pembangunan masjid dan gereja yang dibantu oleh ummat agama lain sebagai bentuk panggilan kewajiban. Hal ini tidak terjadi secara kebetulan atau salah pembangunan. Tetapi memang secara luhur para foundhing fathers bangsa indonesia sejak dahulu kala menjadikan perdamaian sebagai modal dan tujuan luhur bangsa dan negara tercinta.
Dari gambaran tersebut, paling tidak muncul sebuah pertanyaan besar, mampukah rumah ibadah bermetamorfosis tidak sebatas instrumen keagamaan yang beragam. Rumah ibadah tidak sekedar tempat pulang pergi orang-orang yang ingin menenteramkan hati dengan meratapi kesalahan tetapi mampu memberikan dorongan potensial terciptanya kesalehan sosial. Tidak sekedar sakral dengan orientasi vertikal tetapi peka terhadap kehidupan sosial dengan orientasi horizontal. Dari sinilah kemudian lahir sebuah perdamaian.
Dakwah transformatif dari rumah ibadah
Jelas salah satu penyebab konflik adalah sikap ekslusifisme dan fanatik yang berlebihan. Jika dalam level yang lebih tinggi, hal itu akan terakumulasi menjadi budaya kekerasan. Eksklusifisme keberagamaan dan sikap fanatik justru datang dari pemahaman dan pengetahuan keberagamaan seseorang yang dangkal. merasa diri sendirilah yang paling benar dan ketakutan terhadap golongan yang berseberangan. Eksesnya akan menimbulkan sikap menutup diri dan menyalahkan yang lain.
Pemahaman keberagamaan yang dangkal ini menjadi pekerjaan rumah utama bagi setiap pemuka agama. Penanaman nilai-nilai keagamaan seharusnya diimbangi dengan penanaman nialai-nilai sosial dimasyarakat. Sehinggaterjadi harmonisasi antara faham keagamaan dengan kehidupan sosial.
Hal lain yang menjadi problem juga adalah permasalahan yang timbul bukan  dari masyarakat melainkan dari dai atau pemuka agama. Kadang pemuka agama dan dai hanya menyampaikan pesan suci agama hanya sebatas silat lidah, tidak menunjukkan tataran aksi dimasyrakat. Kalau sosiolog Antonio Gramsci mendambakan sosok intellectual organic sebagai pembelajar (intellektual) yang mampu dan mau terjun dalam ranah aksi dan refleksi keadaan dimasyarakat, maka dalam hal ini kita membutuhkan sosok da’i atau tokoh agama organic.
Jadi salah satu solusi yang bisa ditawarkan dalam menghadapi masalah keberagamaan ini adalah masing-masing agama atau golongan memulai kembali menanamkan nilai luhur ajaran kepercayan yang diyakini dengan metodologi dakwah transformatif. Metode dakwah transformatif itu sendiri terdiri dari dua macam yaitu metode refleksi dan aksi. Metode refleksi adalah proses pengkayaan ide, gagasan, pemikiran serta pemahaman tentang keberagamaan sebagai kerangka dalam kerja aktif. Sedangkan metode aksi adalah proses eksperimentasi untuk melakukan perubahan dimasyarakat. Selama ini yang menjadi basis dakwah masih berjibaku dalam ranah verbal seperti pengajian, majlis ta’lim, ceramah, seminar dan lain sebagainya. Sedangkan dalam ranah konkret dimasyarakat nihil.
Rumah ibadah menjadi tempat yang tepat untuk melakukan kegiatan perdamaian dengan beberapa alasan. Pertama, dalam ranah refleksi, tempat ibadah seringkali dijadikan media untuk memperdalam khazanah-khazanah keilmuan terutama menyangkut keberagamaan. Dalam ranah refleksi inilah penanaman nilai-nilai inklusif dan toleransi ditanamkan kepada ummat. Selain memperdalam khazanah ajaran salah satu agama (partikular) seharusnya juga menanamkan agenda semua agama (universal) seperti memerangi kemiskinan, pelestarian lingkungan, pendidikan dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, tepat pula untuk menanamkan refleksi perdamaian dalam rumah ibadah.
Kedua, dalam ranah aksi. Rumah ibadah akan tepat jika dijadikan sebagai basis kegiatan sosial. Terlebih jika tempat ibadah berhasil menepis tembok besar antara satu agama dengan agama lain dan menggantikan dengan aksi sosial masyarakat. Karena sejatinya setiap agama mengajarkan kebaikan.
Ketiga, aktifitas yang dilakukan oleh rumah ibadah dianggap mempunyai otoritas dan legalitas karena masing-masing rumah ibadah dibimbing oleh pemuka agama yang mempunyai pemahaman keagamaan yang tinggi. Sehingga ummat akan mengikuti dan menyebarkan benih-benih perdamaian dan keadilan.
*Tulisan ini pernah diterbitkan ICRP dalam booklet Youth Peace in Diversity (PID)

Tidak ada komentar

Terimakasih sudah mengunjungi blog ini, semoga bermanfaat. Silakan isi komentar berikut jika ingin menanyakan sesuatu...

Created by Lisonk. All Right Reserved. Diberdayakan oleh Blogger.