Header Ads

Makna Ulang Mudik


Oleh: Muhammad Mukhlisin

Sejatinya mudik bukanlah sesuatu yang diwajibkan dalam agama. Tidak ada dalil dan perintah ulama untuk melakukannya. Tetapi, begitu banyak masyarakat yang rela untuk mengorbankan waktu, tenaga dan hartanya untuk melaksanakannya. Mudik memang fenomena masyarakat Indonesia yang unik yang tidak dapat ditemukan fenomena serupa di negara-negara lain.
Mudik secara harfiah lazimnya diartikan sebagai kembali. Oleh kebanyakan masyarakat kemudian mudik berkembang menjadi sebuah ritus sosial kembali kekampung halaman ketika lebaran. Menurut budayawan Umar Kayam, mudik telah terjadi berabad-abad tahun lalu. Berawal dari tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Dalam tradisi masyarakat agraris memang kekuatan komunalitas seperti kekeluargaan dan gotong royong begitu mengakar kuat. Sehingga petani yang jauh dari sanak keluarga rutin melakukan mudik untuk meningkatkan semangat komunalitas tersebut.
Fenomena mudik menjadi trend menarik sejak kota-kota besar di Indonesia berkembang pesat pada awal tahun 1970-an. Potensi ekonomi menjadikan kota-kota besar sebagai tujuan migrasi masyarakat pedesaan untuk mengadu nasib. Ketidakseimbangan pemerataan pembangunan antara perkotaan dan pedesaan memunculkan gelombang urbanisasi yang tidak dapat dibendung. Masyarakat urban ini kemudian melakukan mudik pada kesempatan-kesempatan tertentu seperti lebaran, natal dan tahun baru.
Jika ditelisik lebih jauh, mudik merupakan fenomena unik yang mempunyai nilai positif dan negatif sekaligus. Umar Kayam menyebutkan bahwa mudik merupakan sebuah ritus yang rancu dan tidak jelas. Apakah fenomena ritus agama, sosial, atau budaya. Pasalnya, jika dipandang sebagai ritus agama, mudik dilakukan juga oleh orang yang tidak taat beragama. Dilihat dari perspektif sosial, mudik tidak bisa dilepaskan dari tradisi lebaran yang identik dengan agama. Dan jika dilihat dari sudut pandang budaya, mudikpun menjadi ajang untuk memperlihatkan prestise dan kelas sosial.
Nilai Positif
Sejak dahulu mudik dijadikan sebagai wahana untuk kembali kekampung halaman demi keberlangsungan tali silaturahim. Untuk melaksanakan hal tersebut pemudik sampai rela berdesak-desakkan, antri tiket, dan menjadi korban kemacetan transportasi yang sudah menjadi rutinitas tahunan. Tetapi, jika dianalisis lebih jauh mudik mempunyai nilai-nilai luhur yang patut untuk dipertahankan.
Pertama, mudik menjadi sarana untuk memperkuat konsep spiritual yang telah terkikis oleh rasionalitas kemodernan perkotaan. Menurut Smith dan Feagin (1991) kota-kota besar berperan penting terhadap perkembangan dinamika sistem ekonomi kapitalis secara umum dan menjadi locus dari rasionalisasi. Dampaknya adalah kehidupan masyarakat berorientasi pada materi dan rasionalitas mengikis nilai-nilai normatif spiritual. Dalam hal ini mudik akan menjadi sarana untuk menyegarkan kehausan spiritual tersebut serta merengkuh rangkaian wasiat dan nasehat dari sanak saudara. Seperti mengutip Budayawan Emha Ainun Najib bahwa mudik adalah upaya memenuhi tuntutan sukma untuk bertemu dan berakrab-akrab dengan asal-usulnya.
Kedua, meningkatkan solidaritas dan tali silaturahim. Andre Moller dalam buku Ramadan di Jawa (2002) mengemukakan bahwa mudik merupakan ritus unik untuk menyambut ramadan dan hari raya idul fitri. Hari raya idul fitri merupakan ajang untuk bersilaturahim dan bergumul dengan sanak saudara dan handai taulan. Dengan menjalin kembali tali silaturahim yang mulai mengendor tersebut akan meningkatkan solidaritas dan semangat komunalitas.
Ketiga, meningkatkan etos dan motivasi. Seperti diungkapkan oleh Saunders (1995) mudik dapat dilihat sebagai bagian dari pemulihan energi positif. Hal tersebut bisa dipahami dengan rememorizeperjuangan dan cita-cita hidup yang telah dikonsep di daerah yang kemudian akan dibawa kekota. Nostalgia akan perjuangan hidup akan meningkatkan motivasi dan etos untuk menuju yang lebih baik.
Keempat, menggerakkan pemerataan perekonomian. Kuatnya motivasi masyarakat untuk melakukan prosesi mudik menimbulkan aliran perekonomian terutama di daerah. Mudik juga membuka peluang-peluang baru membangun perekonomian baik berbasis daerah maupun nasional. Hal ini menjadi positif sebagai mode alternatif pemerataan sosial-ekonomi yang secara formalnya masih banyak kekurangan.
Pergeseran Makna
Pada prinsipnya mudik mempunyai nilai luhur yang positif baik secara individu maupun semangat komunalitas. Tetapi bukan berarti mudik hanya mengandung aspek positif semata, melainkan negatif juga. Kuatnya arus modernisasi dan gempuran kapitalisme berimbas pada pola fikir masyarakat yang semakin mengedepankan rasionalitas. Hal ini juga berimbas pada proses mudik yang dilakukan masyarakat. Masyarakat semakin kehilangan makna mudik yang sesungguhnya dan hanya bersuka cita tanpa ada bekasnya.
Imbas dari perubahan pola fikir dan makna mudik ini menimbulkan efek negatif yang berkelanjutan. Salah satunya adalah budaya individualis, hedonisme, konsumerisme dan lain-lain. Oleh sebab itu tak jarang kita melihat masyarakat yang menghambur-hamburkan uang untuk proses mudik. Dan mudik yang dilakukan hanya dimaknai sebagai proses untuk memperlihatkan prestise semata. 
Terakhir, mudik bukan berarti rekreasi untuk mengisi liburan. Bukan juga untuk ajang pamer kekayaan dan kesuksesan. Tetapi meningkatkan semangat spiritualitas dan motivasi bekerja keras baik untuk diri sendiri dan orang lain. Selamat mudik.

Tulisan ini pernah dipublikasikan di harian Suara Karya

Tidak ada komentar

Terimakasih sudah mengunjungi blog ini, semoga bermanfaat. Silakan isi komentar berikut jika ingin menanyakan sesuatu...

Created by Lisonk. All Right Reserved. Diberdayakan oleh Blogger.