Header Ads

Modernisme lawan sorogan dan bandongan

Oleh: Muhammad Mukhlisin*

[/caption]

Kekayaan alam nusantara dengan khas agragria merupakan rahmat Allah SWT yang patut disukuri orang Indonesia. Indonesia sebagai negara agraris identik dengan budaya komunal seperti toleransi dan tolong menolong. Prinsipnya, suatu permasalahan akan lebih ringan jika dipikul bersama-sama. Budaya komunal ini telah merasuk dan mendarah daging menyertai berkembangnya masyarakat Indonesia. Sampai satu titik dimana perkembangan Indonesia berada pada titik nadir. Budaya-budaya lokal dan azas komunalitas teralienasi dengan struktur budaya impor.

Pesantren merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah perkembangan sumber daya manusia Indonesia, khususnya domain pendidikan islam. Dalam sejarah kepesantrenan, lembaga pendidikan islam tertua di Indonesia ini selalu mendampingi masyarakat dari masa
ke masa. Sehingga interaksi pesantren dengan masyarakat terasa begitu intim. Dan keduanya saling berpadu dengan berinternalisasi dalam nilai agama dan sosial. Nilai-nilai sosial masyarakat seperti komunalitas menjadi hal yang tak terpisahkan dari dunia pesantren.

Kita seharusnya patut mengapresiasi nilai-nilai seperti ini. Komunalitas dalam praktik di pesantren terwujud dalam sikap para santri-santri yang mempunyai common sense serta ikatan emosional yang kuat sesama santri pesantren. Mereka akan merasa menjadi satu kesatuan komunitas yang saling melengkapi. Kemudian nilai-nilai kebersamaan ini menjadi kian kukuh dengan pengejawantahan dalam metode pembelajaran yang mereka terapkan. Dalam dunia pesantren, terdapat dua metode pembelajaran yang dikenal dengan istilah sorogan dan bandongan. Metode sorogan merupakan metode pembelajaran diamana kyai membacakan penjelasan kitab kuning dan didengarkan semua santrinya. Sedangkan metode bandongan adalah kebalikan dari metode sorogan yaitu santri membacakan dan menjelaskan dari kitab dan kyai hanya menjadi pengawas atau penguji. Metode ini relative cocok dengan pertimbangan jumlah santri yang cukup banyak dan kyai pengampu yang relatif sedikit.

Metode sorogan dan bandongan adalah bagian wajib dalam pesantren. Metode ini telah menjadi bagian pembelajaran pesantren dari berabad-abad tahun yang lalu. Seiring perkembangan dalam dunia pendidikan seperti munculnya sekolah-sekolah binaan pemerintah bahkan sampai sekolah yang bertaraf nasional dan internasional, pesantren tetap konsisten dengan metode khasnya itu. Memang seakan terjadi stagnasi disini. Dimana lembaga-lembaga pendidikan modern banyak bermunculan dengan menggembar-gemborkan standar dan mutu kualitas masing-masing, justru pesantren tetap istiqomah dengan metode klasikalnya.

Nah, permasalahannya kemudian tradisi komunalitas yang ada di masyarakat agragria seperti Indonesia ini sedikit demi sedikit sudah tergeser dengan arus global modernisasi. Meskipun modernisasi tidak selalu berakibat buruk. Seperti munculnya spesifikasi yang jelas dalam struktur sosial dan pembagian kerja masyarakat, banyaknya persaingan yang menimbulkan persaingan kreatif, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi dll (Anthony Giddens, The Consequences Of Modernity, Polity Press Ltd., 2004). Tapi nilai-nilai luhur nusantara tidak boleh hilang begitu saja kalah dengan arus modernisasi. Lalu bagaimana dengan pesantren. Akankah komunalitas dalam pesantren hilang, Lalu sorogan dan bandongan akan diganti dengan apa?

Lagi-lagi kita harus merujuk ke kaidah fiqih yang menyatakan bahwa al-akhdu al-jadidu al-ashlah wal akhdu al-qadimu as-shalih (mengambil suatu yang baru yang lebih baik dan mempertahankan yang lama yang baik). Jadi, bagaimanapun juga ciri khas dan nilai komunalitas pesantren tidak boleh hilang. Tradisi sorogan dan bandongan harus tetap dipertahankan, ini penting supaya nilai-nilai budaya bangsa timur yang luhur tidak punah. Tetapi kita juga tidak akan bisa mentah-mentah menolak modernisasi. Modernisasi adalah kebutuhan. Kebutuhan untuk tetap berjalan dan bertahan menuju persaingan global. Pesantren harus kuat dengan kualitas SDM yang unggul dan kompetitif. Pesantren juga harus mampu membekali santrinya dengan life skill yang mumpuni sehingga santri bisa surfive dalam dunia global dan tetap dalam lingkaran norma-norma islami. Kita harus berbangga dengan usulan Depag yang akan membuat pesantren unggulan berstandar nasional dan internasional di setiap provinsi di Indonesia. Kedepan pesantren akan banyak yang mendapat label bertaraf nasional dan internasional sebagai artian bahwa pesantren-pesantren ini mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan binaan pemerintah dan lembaga pendidikan binaan investor asing di Indonesia.

Kesimpulanya, ditengah maraknya jargon lembaga-lembaga pendidikan negeri dan asing, pesantren kita harapkan mampu mengemban misi sebagai lembaga pendidikan yang mencetak SDM kualitatif. Pemberian pelatihan-pelatihan berbasis life skill, self manajemen and basic skill, magang, dan pelatihan-pelatihan kreatifitas menjadi hal penting yang harus menjadi PR untuk pesantren. Sebuah harapan, Kedepan pesantren tidak hanya menjadi lembaga pengkajian kitab-kitab klasik tetapi menjadi lembaga pendidikan yang perduli dengan nasib dan permasalahan masyarakat yang menyeleluruh, bukan terbatas persoalan akhirat. Tetapi, hal paling penting jangan sampai melupakan tradisi al-qadimu as-shalih. Sorogan dan bandongan akan menjadi pijar utama pesantren untuk membangun masyarakat yang toleran dan tidak menghilangkan komunalitas dalam masyarakat indonesia.

Tidak ada komentar

Terimakasih sudah mengunjungi blog ini, semoga bermanfaat. Silakan isi komentar berikut jika ingin menanyakan sesuatu...

Created by Lisonk. All Right Reserved. Diberdayakan oleh Blogger.